SEJARAH DESA SINDANGHAJI
Disusun oleh : Amy Retno Galih
Suatu tempat atau daerah mempunyai kronologis yang berbeda dalam awal berdirinya dan perkembangan
selanjutnya, ini biasanya disebut sejarah. Dalam sejarah setidaknya ada empat unsur pendukung, diantaranya: pelaku, kejadian, waktu dan tempat
kejadian. Biasanya sebelum menjadi
catatan dan menjadi dokumen sejarah
seperti ceritera rakyat lainnya dapat lestari dan terpelihara karena menjadi
ceritera turun temurun dari generasi ke generasi lainnya
saecara terus menerus dan berkelanjutan sehingga menjadi catatan sejarah
yang kekal, tidak berubah dan terinventarisir dalam hati setiap generasi
dan ketu- runan para pelaku sejarah.
Nama
suatu tempat seringkali dikaitkan dengan peristiwa penting atau nama pelaku sejarah di awal berdirinya
suatu tempat, saya ambil contoh “Cirebon,” sebagian kalangan mayarakat
mengasumsikan yang akhirnya menjadi cerita turun temurun, bahwa di salah
satu perairan di wilayah yang sekarang disebut Cirebon
ditemukan sekumpulan udang-udang kecil (rebon).
Ci berarti air dan rebon artinya udang kecil. Sejak itu wilayah
tersebut dinamakan daerah Cirebon. Kita juga mengenal Leuwimunding
yang terdiri dari
dua kata : leuwi
(bhs.sunda) artinya bagian
sungai yang dalam,
munding (bhs. Sunda) artinya
kerbau, Jatiwangi teridiri dari dua kata: jati yaitu sejenis tanaman keras, wangi artinya harum, dan banyak lagi
nama-nama desa atau daerah lainnya
yang di dalamnya mempunyai latar belakang peristiwa penting pada waktu
itu. Pemberian nama selain sebagai upaya
pengidentitasan desa atau wilayah tersebut bertujuan untuk mengingat
peristiwa penting dan
bersejarah, makanya pemberian nama seantiasa menggunakan kata baku
dan mudah diingat.
Seperti
kita ketahui bersama, bahwa bangsa kita mengalami fase kebudayaan, kepercayaan dan agama. Sebelum
berkembangnya islam di tanah jawa ini, dari mulai animisme dan dinamisme,
sejalan dengan perkembangan peradaban
dan kebudayaan juga perekonomian, setelah hindu- budha masuklah Agama Islam ke
nusantara yang dibawa oleh Pedagang Gujarat melalui Kerajaan Samudera Pasei di
tatar yang sekarang disebut Sumatera. Dari
sana Agama Islam masuk ke Tanah Jawa melalui
Cirebon dan Banten. Seperti juga di kalangan Kristen yang punya zending
dan misionaris, para pemuka Agama Islam
menugaskan beberapa inohongnya untuk
menyebarkan ajaran Agama Islam di Wilayah Kerajaan Cirebon dan
sekitarnya.
Dikisahkan perkiraan pada abad XVII,
dimasa perkembangan Agama Islam di Tatar Jawa Dwipa terutama di
Kerajaan Cirebon, berangkatlah
para pembawa dan penyebar ajaran Agama Islam menuju tatar kulon Cirebon
(Wilayah Barat Cirebon). Rombongan pengembara itu terdiri dari lima belas orang, dan dalam perkembangan
selanjutnya merekalah yang
mewarnai tata kehidupan sosial,
agama, budaya, dan adat istiadat masyarakat Desa Sindanghaji dan sekitarnya
pada masa itu. Adapun para pengembara itu adalah :
1. Buyut
Pernata kusuma
2. Buyut
Sura Menggala
3. Buyut
Sangkin
4. Buyut
Simah
5. Buyut
Kimbar
6. Buyut
Kinayu
7. Buyut
Samidin
8. Buyut
Jati
9. Buyut
Amal
10. Buyut
Natasari
11. Buyut
Girang panganten
12. Buyut
Matang haji
13. Buyut
Rangga Kamasan
14. Buyut
Kedut
15. Buyut
Babut
Para pengembara memasuki wilayah barat
Cirebon yang pada waktu itu sebagian besar daerahnya masih berupa hutan belantara,
masih jarang pendu- duknya. Mereka beristirahat, membabat
hutan untuk dijadikan
tempat tinggal yang pada
perkembangan selanjutnya menjadi pemukiman dan lahan bercocok tanam. Para
pengembara itu diperkirakan
bermukim di tempat
(desa) yang berbeda tapi tidak terlalu jauh (tetangga desa). Asumsi
ini berdasarkan bukti-bukti,
bahwa makam para pengembara di atas terletak di tempat (desa) yang berbeda.
Dalam perjalanan pengembaraan
mereka, sampailah pada sebuah hutan.
Salah seorang pengembara yang bernama Buyut Matanghaji memprakarsai pembabatan dan pembukaan hutan
itu, karena beliau merasa
tempat itu layak untuk dijadikan
tempat istirahat bahkan pemukiman
yang nyaman. Tanahnya subur,
dekat sungai dan terdapat mata air. Maka
pada perkembangan mayarakat
selanjutnya tempat tersebut dinamakan “Sindanghaji”, berasal dari dua kata
“sindang” (bhs.sunda) artinya mampir atau istirahat, dan “haji” nama pendek
dari Buyut Matanghaji. Demikian ceritera
dari beberapa sumber, se-kilas kronologis kenapa tempat
tersebut dinamai Sindanghaji.
Sindanghaji sebuah tempat
peristirahatan para pengembara,
terutama pengembara yang bernama Buyut Matanghaji selanjutnya menjadi
pemukiman penduduk. Dari waktu ke waktu yang bermukim di Sindanghaji
semakin lama semakin bertambah, selain putra-putri yang dilahirkan di
Sindanghaji sendiri, ada juga pendatang dari luar Sindanghaji. Sindanghaji
melahirkan putra-putri terbaik pada
jamannya. Dalam catatan yang merupakan
arsip berharga yang disimpan di
kantor Desa Sindanghaji Wilayah Sindanghaji
dalam kepemimpinan Demang Eon
mengalami kemajuan yang pesat. Pusat Pemerintahan diberi nama (istilah) Dayeuh
(bhs.sunda) yang berarti pusat pemerintahan, lokasinya antara Dukuh Bak dan
Dusun Tegalmerak sekarang. Hal ini diperkuat dengan adanya tempat yang dinamai
Sawah Alun. “Alun” (bhs.sunda) artinya suatu
lapangan atau lahan yang berada di sekitar pusat pemerintahan.
Lokasinya berada sekitar
limaratus meter arah utara
dari Pusat Pemerintahan Desa
Sindanghaji saat ini. Bukti lainnya
adanya suatu tempat yang
dinamai Telar Dayeuh. Telar dari kata “tetelar” (bhs.Sunda) artinya tegalan,
“dayeuh” (bhs.sunda) artinya pusat pemerintahan. Lokasinya sekitar satu
kilometer ke arah utara dari sawah alun. Masa
kepemimpinannya berakhir pada
tahun 1814, sedangkan tidak ada catatan yang menyatakan kapan
awal Pemerintahan Demang Eon, dan tidak ada bukti juga keterangan kalau
Demang Eon dimakamkan di Desa Sindanghaji.
Seorang tokoh Islam yang bernama Buyut
Matanghaji yang memprakarsai pembabatan hutan di wilayah yang sekarang disebut
Sindanghaji, yang awalnya hanya untuk tempat beristirahat beliau dan
rombongan, sangat diyakini bahwa beliau hanya mampir (sindang)
karena di wilayah Sindanghaji dan desa sekitarnya tidak ditemukan makam Buyut
Matanghaji, sedangkan makam-makam buyut lainnya ditemukan di Sindanghaji dan
sekitar Sindanghaji.
Lokasi makam para pengembara dari
Cirebon itu diantaranya: Buyut Pernata Kusuma dimakamkan di bagian timur –
selatan Desa Patuanan, yaitu tetangga Desa Sindanghaji sebelah timur. Buyut
Suramenggala, dimakamkan di
perbatasan Desa Patuanan dan
Desa Nanggerang. Menurut letak geografisnya separoh Wilayah Desa
Patuanan Bagian Selatan dan Bagian Timur berbatasan dengan Desa Nanggerang. Buyut
Sangkin, dimakamkan di Kampung Cikawah,ujung timur dan selatan Desa Sindanghaji
yang berbatasan dengan Desa Parakan. Buyut
Simah dimakamkan di lokasi yang sama dengan Buyut Pernata Kusuma. Buyut Winayu
dimakamkan di Dukuh Duwur, wilayah Desa Patuanan bagian tengah perbatasan
Sindanghaji. Buyut Jati dimakamkan di Dukuh Luhur Desa Patuanan, sekitar
limaratus meter ke arah utara dari letak makam Buyut Winayu. Buyut Girang
Panganten, Buyut Rangga Kamasan terletak di Pemakaman Kabuyutan yang terletak
di Desa Sindanghaji tapi agak
terpisah dari komplek pemakaman umum.
Buyut Rangga Kamasan terletak di Pemakaman (astana) Hulu Dayeuh yang sekarang
menjadi wilayah Desa Tarikolot. Dalam keterangan selanjutnya dijelaskan, bahwa
Desa Tarikolot merupakan pemekaran dari Desa Sindanghaji pada tahun 1901 dimasa
kepemimpinan Haji Mansur (1880-1919).
Melihat letak pemakaman para pengembara
penyebar ajaran Agama Islam yang berasal dari Kerajaan Cirebon, ternyata berada
di Wilayah Sindanghaji dan Wilayah Patuanan, diyakini bahwa pada jaman itu Desa
Sindanghaji dan Desa Patuanan merupakan sentral penyebaran ajaran Islam. Ada
satu keyakinan di kalangan dan generasi masyarakat tertentu, bahwa beberapa
bukti makam yang ada di wilayah ini seperti Buyut Jati dan beberapa tokoh
lainnya, itu hanya merupakan petilasan (bekas tinggal dan istirahat), sedangkan
makam aslinya ada di tempat lain. Ada juga keyakinan di beberapa kalangan yang
mewarisi pemahaman itu dari generasi sebelumnya, bahwa orang yang sudah
mencapai tingkat ma’rifat dalam keyakinan dan dibuktikan dengan akhlak dan
perilakunya seperti yang dimiliki oleh hamba Allah para Buyut penyebar ajaran
Islam di jaman itu, mereka akan meninggal di satu tempat dan akan muncul
seperti reinkarnasi di tempat lain untuk selanjutnya melakukan kebaikan, lantas
beliau akan meninggal dan seterusnya hingga dua atau tiga kali. Keyakinan
mereka seperti ini salah satunya disebabkan karena satu orang tokoh terkadang
makamnya ada di lebih dari satu tempat yang berbeda, dan masyakat sekitarnya
meyakini dan mengklaim tokoh yang sama. Dari kedua kelompok tersebut mana yang
benar Wallahualam.
Dalam perkembangan selanjutnya
sindanghaji dijadikan nama desa dengan Kepala Desanya Kuwu Boja (1814-1844).
Kuwu Boja memimpin Desa Sindanghaji kurang lebih selama tigapuluh tahun.
Diantara sekian banyak kebijakkan dan pengabdian beliau di Desa Sindanghaji
yang tercatat dalam sejarah adalah memindahkan Pusat Pemerintahan yang notabene
Kantor Pemerintahan dari Tegalmerak ke
lokasi yang posisinya ada di tengah-tengah Wilayah Sindanghaji, yaitu tanah
milik beliau (sekarang Balai Desa/Kantor Kuwu/Kantor Kepala Desa) Sindanghaji. Hal ini beliau lakukan karena
Lembur Tegalmerak lokasinya ada di ujung utara Desa Sindanghaji, sedangkan
Pusat Pemerintahan seharusnya di tengah-tengah wilayah untuk mempermudah
masyarakat pelaku roda pemerintahan di jaman itu. Tidak ada keterangan beliau
kapan wafat, tapi beberapa narasumber dan penulis menyimpulkan akhir
kepemimpinan Kuwu Boja itulah akhir hayatnya, karena pada jaman itu rakyat
begitu hormat pada pemimpinnya. Kuwu Boja yang biasa disebut Embah Boja wafat
tahun 1844 dimakamkan di Pemakaman Kabuyutan.
Tampuk pimpinan pemerintahan Desa
Sindanghaji selanjutnya dipegang oleh H. Kodir (1844-1879),beliau wafat pada
tahun 1879 dan dimakamkan di Pemakaman Kabuyutan. Asripudin (1879-1880), beliau
menjabat Kuwu Sindanghaji selama satu tahun. Haji Mansur (1880-1919), selama
kurang lebih tigapuluh Sembilan tahun beliau memegang tampuk pimpinan. Pada
tahun 1901, dimasa kepemimpinan Haji Mansur karena jumlah warga Desa
Sindanghaji melebihi batas dalam aturan kependudukan pada jaman itu, juga
wilayahnya terlalu luas, maka Desa Sindanghaji dimekarkan (dipecah) menjadi dua
desa. Desa yang baru diberi nama Tarikolot (Desa Tarikolot). Pemecahan wilayah
diambil melintang dari ujung selatan sampai ujung utara Desa Sindanghaji. Wilayah
Tarikolot dipecah dari Sindanghaji bagian barat. Haji Mansur diperkirakan wafat
tahun 1919 dan dimakamkan di Belakang Mesjid Jami Sindanghaji.
Kuwu Warsita yang biasa dipanggil Kuwu
Repas, memegang tampuk kepemimpinan sebagai Kuwu Sindanghaji, dari tahun 1919-1923.
Beliau mengakhiri jabatannya karena meninggal dunia pada tahun 1923. Dari tahun
1923 – 1925 Kuwu Sindanghaji dijabat oleh Bapak Sayi. Dimasa kepemimpinannya
Kuwu Warsita/Kuwu Repas merintis dan memprakarsai upaya pembangunan Jembatan Cikamangi.
Cikamangi sebuah sungai yang membelah sekaligus batas Desa Sindanghaji dan Desa
Patuanan dari wilayah tengah sampai ujung utara, dan menurut keterangan
beberapa sumber Jembatan Cikamangi ini baru mengalami satu kali pemugaran,
yaitu di era pemerintahan orde baru. Jembatan Cikamangi ini menghubungkan
langsung Desa Sindanghaji dan Desa Patuanan, juga sebagai sarana
pendistribusian hasil pertanian ke Pasar Leuwimunding bukan saja dari Desa
Sindanghaji, tetapi juga dari Desa Tarikolot, Waringin dan Weragati.
Dari tahun 1925-1947, selama duapuluh dua tahun tampuk kepemimpinan Desa
Sindanghaji dipegang oleh Kuwu Ali, yang kadang masyarakat memanggilnya dengan
sebutan Kuwu Gorobag. Dipanggil Kuwu Gorobag karena beliau punya gerobag atau
padati dalam bahasa sunda, yaitu alat transportasi terutama untuk mengangkut
barang, ukurannya kira-kira sebesar truk ditarik oleh dua ekor kerbau. Ada
ceritera yang bersumber dari ceritera generasi jaman itu, dan diceritakan pada
generasi berikutnya dan sampai sekarang menjadi ceritera yang tidak
tertulis/tercatat, Kuwu Ali/Kuwu Gorobag seorang kuwu yang mempunyai ilmu
kanuragan dan kekuatan fisik. Suatu ketika dalam perjalanan, gerobagnya terjerembab ke sebuah
sungai. Secara akal dan logika tidak mungkin beliau bisa mengangkat
gerobag/pedati itu sendirian. Namun apa yang terjadi? Beliau masuk ke kolong
pedati itu, dan atas ijin Allah diangkatlah pedati itu dengan pundak dan
tangannya sendiri pedati itu dipindahkan ke pinggir jalan. Cerita lainnya yang
mungkin terdengar lebih ekstrim, Kuwu Ali/Kuwu Gorobag kalau tubuhnya
pegel-pegel bukannya datang ke tukang urut untuk dipijit, tapi beliau menyuruh
seorang kemit (sebutan untuk seseorang yang bertugas piket dibalai desa),
memukulinya dengan alu, yaitu sebatang kayu bulat panjang juga keras, besarnya sekepalan tangan orang dewasa
yang pada waktu itu biasa digunakan untuk menumbuk padi menjadi beras, karena
pijitan tangan sekeras apapun tidak terasa dan dan tidak bisa menghilangkan
rasa pegel dan kaku tubuh dan otot-ototnya.
Masa kepemimpinan beliau bisa dikatakan
salah satu jaman keemasan Desa Sindanghaji, karena pada masa kepemimpinan
beliau dapat dibangun Mesjid Jami yang sekarang diberi nama Mesjid Jami
AL-ISHLAH. Sejalan dengan perkembangan
Agama Islam dan sumber daya masyarakat, Kuwu Ali mulai memperhatikan sarana
ibadah. Pembangunan mesjid merupakan skala prioritas. Semangat gotong-royong,
kebersamaan, rasa saling memiliki di hati dan jiwa masyarakat pada jaman itu sangat besar dan
tidak akan ditemukan lagi di jaman sekarang. Swadaya murni merupakan jantungnya
pembangunan.Selain memperhatikan sarana ibadah, beliau mulai memperhatikan pula
peningkatan produksi pertanian. Efisiensi penggunaan air, kecepatan, ketepatan,
dan pemerataan aliran air di area pertanian menjadi salah satu programnya.
Beliau membangun senderan saluran air skunder Ciwayang. Beliau wafat
diperkirakan tahun 1947, dan dimakamkan di Dukuh Balong yang pada perkembangan
selanjutnya komplek itu menjadi pemakaman umum.
Dari tahun 1947-1965, sekitar delapan
belas tahun Kuwu Sapdari memegang tampuk kepemimpinan Desa Sindanghaji.
Pembawaannya tegas, dalam usianya yang semakin tua semakin mengalir semangat
dalam dirinya untuk memajukan Desa Sindanghaji, dalam bidang pendidikan dan
pertanian. Cita-cita mulia ini direalisasikan dengan membangun Gedung Sekolah
SD Sindanghaji I yang dahulu dinamai Bangunan Gotong Royong Desa Sindanghaji.
Selain membangun sarana pendidikan sebagai salah satu wadah untuk mencerdaskan
bangsa, Kuwu Sapdari juga membangun saluran irigasi sebagai upaya mempermudah
penyaluran air untuk lahan yang letaknya jauh dari saluran sekunder. Beliau
berharap para petani lebih mudah memenuhi kebutuhan air di lahan pertanian,
sehingga produksi pertanian terutama padi bisa meningkat.
Kuwu Sapdari salah seorang narasumber dalam
penyusunan Sejarah Desa Sindanghaji ini, dan beliaulah satu-satunya mantan kuwu
di Sindanghaji yang sempat menyaksikan, memantau, dan merasakan masa
kepemimpinan empat orang Kuwu/Kepala Desa di masa berikutnya. Beliau kerap
diminta saran dan nasihat oleh kuwu-kuwu/kepala desa berikutnya hingga dia
tutup usia pada tahun 2007. Beliau dimakamkan di Makam Pagambuhan.
Penggganti pemegang jabatan kuwu dari
tahun 1965-1967 adalah Kertiker Ucin, pada waktu itu pembangunan mengalami
hambatan karena gejolak politik hingga terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI yang
berpengaruh besar pada kondisi keamanan, ketentraman dan kestabilan psikis
masyarakat pedesaan pada waktu itu
Kuwu Atori memimpin Desa Sindanghaji dari
tahun 1967-1980. Seorang TNI bekas pejuang di masa kemerdekaan. Pribadinya
tegas, kata-katanya lugas seperti karakter tentara kebanyakan pada waktu itu.
Beliau terkadang bercanda di tengah masyarakatnya untuk mencairkan keseganan
terhadap dirinya. Di masa pemerintahannya, dibangun SD Ciputri yang selanjutnya
berubah nama menjadi SD Sindanghaji III. Dengan dibangunnya SD Ciputri,
putra-putri Desa Sindanghaji bagian tengah sampai ujung selatan yang meliputi
Dukuh Balong, Reumagabug, Cikawah Kidul, Cikawah Wetan, Dkh. Deog, Mindana,
Karangbikas, bahkan Dukuh Dawuan yang termasuk wilayah Desa Tarikolot yang
posisinya dekat dengan SD Ciputri bisa sekolah di sana karena jarak tempuhnya
lebih dekat. SD Ciputri yang dibangun di era orde baru akrab ditelinga masyarakat
pada masa itu dengan sebutan SD Inpres. Kenyamanan belajar semakin terasa
dengan bertambahnya Sekolah Dasar di Sindanghaji, karena jarak tempuh yang
semakin dekat bagi murid-murid yang tinggalnya jauh dari Sekolah Dasar Gotong
Royong (SD Sindanghaji I), belajar lebih nyaman karena warga kelas jadi terlalu
penuh. Beliau mengakhiri tampuk kepemimpinan sesuai dengan Undang-Undang no.5
tahun 1979, yang menegaskan bahwa masa jabatan Kepala Desa selama 8 tahun. Kuwu
Atori dimakamkan di Makam Kebon Buah Lebak Cidongke yang merupakan Makam
Keluarga.
Berdasarkan hasil Pemilihan Kepala Desa
yang demokratis, Sutrisno mendapat amanah dari masyarakat untuk memegang tampuk
pimpinan Pemerintahan Desa Sindanghaji sejak tahun 1980. Beliau respek terhadap
perkembangan sumberdaya alam dan sumberdaya masyarakatnya pada waktu itu.
Sedikit demi sedikit dan secara bertahap pemikiran ilmiah mulai disisipkan dan
dikembangkan dalam segala aspek kebijakkan pemerintahan yang dituangkan dalam
program jangka panjang dan jangka pendek. Beliau begitu mahir dalam membaca dan
mengembangkan sumberdaya alam, potensi dan keinginan masyakatnya. Beliau
membangun desa dan masyarakat ke arah yang lebih modern dengan tetap
melestarikan adat dan budaya yang selama ini menjadi pilar semangat gotong
royong di Desa Sindangjaji. Dengan
sumber daya, semangat gotong royong dan semangat untuk maju yang yang semakin
tumbuh subur di masyarakat Desa Sindanghaji waktu itu, dibarengi dengan
perjuangan yang tidak kenal lelah beliau bersama masyarakatnya berhasil
membangun sarana Pendidikan Agama Islam Madrasah Diniyah di alun-alun Bale Desa
Sindanghaji dan di Dusun masyarakatnya merehab balai desa, mengaspal jalan
desa, memperbaiki irigasi dan membangun Pesantren Darul Falah.
Pertumbuhan penduduk, wawasan dan
sumberdaya masyarakat yang semakin berkembang, mempengaruhi kebijakkan dan
program-program pembangunan di masa pemerintahannya. Beliau berusaha untuk
selalu tanggap terhadap seluruh permasalahan dan keinginan masyarakatnya.
Wilayah Sindanghaji bagian selatan telah
memiliki SD Ciputri (sekarang SD Sindanghaji III) dengan lapangan olah raganya,
Wilayah Sindanghaji bagian tengah telah memiliki SD Sindanghaji/ SD Gotong
Royong (sekarang SD Sindanghaji I) sepaket dengan lapangan olah raganya. Dimasa
pemerintahannya dia membangun SD Sindanghaji di wilayah Sindanghaji bagian
utara sepaket juga dengan lapangan olah raganya, yang dalam perkembangan
selanjutnya dinamai SD Sindanghaji II di daerah Telar Dayeuh.
Sutrisno secara bertahap mulai merubah
tatanan pemerintahan ke arah yang lebih baik. Beliau membagi-bagi wilayah Desa
Sindanghaji menuju modernisasi administratif. Desa Sindanghaji dibagi menjadi
enam Rukun Warga (RW) dan 20 Rukun Tetangga (RT). Dengan upaya seperti ini
peran serta masyarakat dalam pembangunan desa lebih aktif dan efisien. Sebagai
polo up dari kebijakan pemerintahan, yaitu pembagian wilayah Desa Sindanghaji
menjadi beberapa Rukun Warga, Sutrisno merintis pembangunan Kantor RW (Balai
Pertemuan), bersama masyarakatnya beliau membangun tiga Balai Pertemuan (Kantor
RW) yang terletak di Dukuh Deog (RW.02), di Dukuh Balong (RW.03), di Dukuh Bak
(RW.04). Pembangunan kantor pertemuan disesuaikan dengan kebutuhan, makanya di
wilayah RW.05 dan RW.06 tidak dibangun kantor pertemuan, karena
Masjid Jami yang dibangun di masa
kepemimpinan Kuwu Ali/Kuwu Gorobag yang di sana sini sudah banyak kerusakan
meski seringkali dilakukan perbaikan dan rehab ringan mulai dilirik oleh
Sutrisno. Beliau menyadari sumberdaya masyarakat Desa Sindanghaji saat itu
sangat mustahil mampu membangun masjid megah dan semi modern di jaman itu
dengan swadaya murni masyarakatnya. Dengan satu keyakinan “man jadda wa jadda”
(barang siapa bersungguh-sungguh maka dapatlah ia), beliau berkordinasi dengan
berbagai fihak untuk dibangunkan masjid dari Yayasan Amal Bakti Muslim
Pancasila. Alhamdulillah dengan kerja keras tak mengenal lelah, dukungan dari
Putra-Putra Sindanghaji yang penuh semangat membangun, dan dukungan dari
seluruh masyarakat yang sangat mendambakan tempat ibadah yang resik dan nyaman
maka Desa Sindanghaji akhirnya mendapat bantuan masjid dari Yayasan Amal Bakti
Muslim Pancasila (YAMP).
Pemikiran modern yang
berkesinambungan memunculkan satu ide kebijakkan yang kelak akan dituangkan dalam
Peraturan Desa. Beliau sangat menyadari roda pemerintahan mesti stabil, baik
itu segi administrasi dan bidang lainnya. Aset, sarana pendidikan yaitu
bangunan SD dan madrasah, sarana transportasi dan perekonomian diantaranya
jalan-jalan desa dan jalan jalan kampung, sarana pendukung pertanian dan
perekonomian diantaranya saluran irigasi dan selokan, masjid yang merupakan
sarana peribadahan, bangunan kantor bale desa perlu pemeliharaan secara rutin
dan continu. Pelayanan administrasi kepada masyarakat harus nyaman dan
memuaskan, diperlukan sarana kantor yang memadai diikuti dengan pemeliharaan
inventaris secara rutin. Salah satu cara tentunya dengan memperkokoh Pendapatan
Asli Desa sehingga merupakan pendapatan rutin tahunan, yang penggunaannya
diperuntukkan insentif Ketua RT, Ketua RW, Kemit Desa, Petugas Kebersihan
Masjid dan Kaum masjid di wilayah.
Rencana pengeluaran lainnya adalah biaya pemeliharaan jalan desa, pemeliharaan
inventaris kantor, dan pemeliharaan sarana lainya. Beliau atas persetujuan LKMD
membuat Peraturan Desa tentang iuran desa yang disebut Padi Adat Desa. Sutrisno
menjadi kuwu selama dua periode, dan dua tahun sebagai Pejabat Kepala Desa.
Kepemimpinan beliau berakhir tahun 1998. Kuwu Sutrisno meninggal pada tahun
2011 dan dimakamkan di pemakaman yang sama dengan pamannya Kuwu Atori..
Kosma memimpin Desa Sindanghaji dari
tahun 1998 – 2008, selama sepuluh tahun. Beliau mewarisi semangat membangun
yang tinggi untuk memajukan Desa Sindanghaji pada tatanan yang lebih tinggi,
seiring dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap sarana dan prasarana
yang menunjang pertanian dan perekonomian. Beliau berupaya membawa
masyarakatnya ke titik madani sesuai tuntutan reformasi dan modernisasi.
Perubahan kebijakkan Pemerintah Pusat di era reformasi yang menitik beratkan
pembangunan daerah pedesaan, yang direalisasikan dengan bertambahnya nominal
bantuan/subsidi dari pusat dan bajeting berbagai bantuan dari pusat untuk
digelontorkan di daerah pedesaan merupakan peluang beliau untuk membangun Desa
Sindanghaji secara maksimal. Diawali dengan menyelesaikan rehab Bale Desa
beliau menunjukkan kesungguhan misi-visinya. Perkembangan jumlah penduduk yang
diikuti dengan semakin padatnya perumahan hingga melebar ke lahan yang tidak
terjangkau jalan permanen menjadi perhatiannya.Sebagai jawabannya beliau
membangun Jalan Lingkar Wilayah antar RW sekaligus pengaspalannya. Beliau juga
membuka jalan alternative Dk.Bak-Cikareo sekaligus pengaspalannya sebagai upaya
memperingan transfortasi hasil pertanian para petani dan juga sebagai efisiensi
jalur transfortasi, sehingga lebih cepat dan lebih mudah. Tidak berhenti sampai
di sana beliaupun merehab ketiga Gedung Sekolah Dasar dan dua Gedung Madrasah
Diniyyah yang ada di Desa Sindanghaji. Di era reformasi masyarakat benar-benar
dimanjakan, karena masyarakat bisa menikmati hasil pembangunan dengan tidak
disibukkan iuran dana swadaya. Di era reformasi ini jaman sudah berubah yang
segalanya terasa begitu mudah. Kosma terus menata pembangunan di berbagai
sektor menjawab tuntutan masyarakatnya.
Pada tahun 2008, di akhir masa
jabatannya beliau bergandengan tangan dengan bersama putra-putra Sindanghaji
lainnya merehab atap,plapoun, dan genting masjid yang dananya 80% hasil sumbangan masyarakat, infak dan sumbangun
donator.
Terhitung mulai tanggal 24 Desember
2008 tampuk kepemimpinan Desa Sindanghaji dipegang oleh Neni Karnaeni. Srikandi
Sindanghaji, kaum Hawwa pertama dalam sejarah Sindanghaji yang berani tampil
paling depan menentukan Sindanghaji ke depan. Sejalan dengan tuntutan waktu dan
tuntutan Peraturan Pemerintah upaya
regenerasasi personil Lembaga Pemerintahan mulai beliau lakukan. Beliau sangat
yakin, bahwa diperlukan kelugasan dan ketegasan dalam pengambilan kebijakkan
perrogatif, dan itu dibuktikan dengan langkah-langkahnya dalam penataan
administrasi dan personil Lembaga Pemerintahan Desa. Ketelitian beliau dalam
pengelolaan administrasi desa, belajar dari almarhum ayahnya yaitu Bapak Asum
yang dimasa pemerintahan Bapak Sutrisno menduduki jabatan Sekretaris Desa (juru
tulis).
Kuwu Neni Karnaeni mereaktifkan lagi
peran serta para Ketua RT dengan langkah nyata yang dituangkan dalam Peraturan
Desa, sehingga para Ketua RT lebih terposisikan lagi dalam Struktur Lembaga
Pemerintahan Desa dan kontribusi untuk
para Ketua RT dianggarkan dari pendapatan insidentil desa.Jadi para Ketua RT
mendapat konstribusi dari PAD dan PID. Beliau sangat sadar meski seorang
perempuan bertengger dalam jabatan dan profesi apapun, agama dan undang-undang
menuntut perempuan untuk tetap eksis sebagai jantungnya kesejahteraan sebuah
keluarga. Disamping itu perempuan harus tetap perperan aktip dalam pembangunan
di segala bidang, maka beliau mereaktifkan lagi kegiatan PKK Desa dan Kegiatan
Majelis Taklim Mukminin.
Dalam memegang tampuk kepemimpinannya
beliau membangun Gedung TK Tresnasari II, sebagai jawaban kerinduan masyarakat
Ciputri dan sekitarnya untuk memiliki gedung Taman Kanak-Kanak. Beliau juga
melakukan rehab ringan terhadap kedua Gedung MD, memfasilitasi rehabilitas
ketiga bangunan Sekolah Dasar, dan memfasilitasi pembangunan mushola di RW 02
Dukuh Mindana atau yang biasa disebut Lembur Cikawah Wetan.
Selain sarana pendidikan dan sarana
peribadahan, beliau juga mulai menjawab kesulitan tranfortasi hasil pertanian
masyarakat, maka beliau melakukan penyenderan, pengerasan dan dan pengaspalan
Jalan Lintas Bubulak-Kepuh-Jaha-Cikareo, sehingga para petani bisa
mengefisienkan biaya transfortasi dilalui kendaraan roda empat. Beliau juga
melakukan penyenderan Jalan Karang Bikas – Deog, Deog – Cikawah Wetan, Jalan
Pintas Dukuh Bak-Lapangan Bola SD Sindanghaji I, dan Jalan Pinggir Timur Bejun.
Semua proyek penyenderan tersebut dilaksanakan berikut pengaspalannya.
Sebagai realisasi program
pemeliharaan sarana infrastruktur, beliau merehab pengaspalan jalan lingkar
wilayah RW di Wilayah Tegalmerak, Dukuh Calung, Bubulak, Bejun, Dukuh Balong,
Cikawah, Mindana, dan Dukuh Deog. Penunjang Kesehatan yang salah satunya
kebutuhan akan air bersih mulai mendapat perhatian Sri Kandi Sindanghaji yang
satu ini. Kenyataan bahwa di musim kemarau sebagian masyarakat kesulitan dalam
pengadaan air bersih meskipun tidak separah daerah lain, maka beliau mulai
membangun dengan permanen sumur-sumur kuno (kolam/bebelik) yang airnya tak
pernah kering walaupun musim kemarau.Beliau membangun MCK di Sumur Bandung
Tegalmerak, wilayah utara Sindanghaji,dan MC di Sumur Manggu, wilayah bagian
tengah Sindanghaji.
Ekonomi Pedesaan yang bertumpu pada
Bidang Pertanian sesuatu yang harus dijaga, dan ditingkatkan. Ketahanan pangan
tak boleh luput dari perhatian. Salah satu unsur yang paling penting dalam
pertanian adalah pengairan yang cukup, maka selain pembinaan Kelompok Tani dan
Kelompok P3A (Mitra Cai) yang sudah terbentuk di masa kepemimpinan para pendahulunya,
beliau melakukan pengeboran (sumur pantek) titik-titik lahan yang seringkali
kekurangan air di masa tanam padi
kemarau dan ngapat (masa tanam ke-dua dan ke-tiga dalam satu taun).
Sri Kandi Sindanghaji, Ibu Kuwu Neni
Karnaeni hingga tulisan ini dirampungkan pada Hari Ahad, tanggal 01 Juni 2013,
beliau masih terus berjuang bahu membahu dengan masyarakat untuk membangun
masyarakatnya, karena Amanat yang beliau diterima yang terdokumenkan dalam
Surat Keputusan Bupati Majalengka sejak tanggal 24 Desember 2008 belum saatnya
beliau tanggalkan.
Nara
Sumber 1 : Awit Saefudin
(Kepala Desa Sindanghaji ke 15)
Nara
Sumber 2 : M. E. Sudarsa (Salah satu perangkat Desa
Sindanghaji)
TUGAS
UAS
SEJARAH
DESA SINDANGHAJI
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI)
Dosen
Pengampu:
Anwar
Sanusi, M.Ag
Disusun
Oleh :
Amy
Retno Galih
(14121620634)
TARBIYAH IPA-BIOLOGI C/II
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN PELAJARAN 2012/2013
mantabbb
BalasHapusHaturnuhun jadi terang sasakala sindanghaji,,,sip
BalasHapusHaturnuhun jadi terang sasakala sindanghaji,,,sip
BalasHapusSae pisan...nuhun..Endung Depok
BalasHapusAssalamualaikum wrb salam persaudaraan,perkenalkan saya Sri Wulandari asal jambi,maaf sebelumnya saya hanya mau berbagi pengalaman kepada saudara(i) yang sedang dalam masalah apapun,sebelumnya saya mau bercerita sedikit tentang masalah saya,dulu saya hanya penjual campuran yang bermodalkan hutang di Bank BRI,saya seorang janda dua anak penghasilan hanya bisa dipakai untuk makan anak saya putus sekolah dikarenakan tidk ada biaya,saya sempat stres dan putus asa menjalani hidup tapi tiap kali saya lihat anak saya,saya selalu semangat.saya tidak lupa berdoa dan minta petunjuk kepada yang maha kuasa,tampa sengaja saya buka internet dan tidak sengaja saya mendapat nomor tlpon Aki Sulaiman,awalnya saya Cuma iseng2 menghubungi Aki saya dikasi solusi tapi awalnya saya sangat ragu tapi saya coba jalani apa yang beliau katakan dengan bermodalkan bismillah saya ikut saran Aki Sulaiman saya di ritualkan dana gaib selama 3 malam ritual,setelah rituialnya selesai,subahanallah dana sebesar 2M ada di dalam rekening saya.alhamdulillah sekarang saya bersyukur hutang di Bank lunas dan saya punya toko elektronik yang bisa dibilang besar dan anak saya juga lanjut sekolah,sumpah demi Allah ini nyata tampa karangan apapun,bagi teman2 yang mau berhubungan dengan Aki Sulaiman silahkan hub 085216479327 insya Allah beliau akan berikan solusi apapun masalah anda mudah2han pengalaman saya bisa menginspirasi kalian semua,Assalamualaikum wrb.JIKA BERMINAT SILAHKAN HUB AKI SULAIMAN 085-216-479-327,TAMPA TUMBAL,TIDAK ADA RESIKO APAPUN(AMAN) .
BalasHapusPatuanan dan sindanghaji dulunya padu (satu), buyut buyut yang ditulis di sejarah sindanghaji itu buyut patuanan semua. Mangga mampir k blog saya, nuhun
BalasHapus